05 Januari 2009

Menjual Kehinaan

Andai kita berjalan baik dengan kendaraan umum atau pribadi, di sekitar Jakarta ataupun kota-kota besar di Indonesia akan kita jumpai pemandangan ironis yakni banyaknya pengemis dan peminta-minta yang berkeliaran di sekitar kita. Pengemis, peminta-minta menjadi satu keriuhan yang lain di belantara kota Jakarta dan sekitarnya. Dengan mimik yang benar-benar perlu dikasihani atau pura-pura minta dikasihani, mereka mencoba menghidupi diri mereka sendiri. Rupiah demi rupiah mereka kumpulkan. Gopekan, secengan berpindah tangan dari si dermawan ke si penghiba. Begitulah, mereka dapat penghasilan dari tempat dimanapun mereka mencoba mengais-ngais 'kelebihan' rezeki orang. Bisa di perempatan lampu merah, bisa di atas bis, bisa di kereta atau di tempat-tempat lain semisal tempat ibadah.

Nun jauh di satu tempat. Ada pengalaman seorang teman yang naik satu jurusan kereta api. Ada suara yang sangat memelas meminta-minta. Di antara desak-desakan orang yang naik kereta, menyeruak orang itu dengan lukanya. Diliriknya orang itu. Astaga!! Ternyata kakinya mengoreng penuh nanah. Dia yang tadinya simpati mendengar ratapan suara yang memelas, menjadi sangat mual melihat luka yang menganga itu. Dia menjadi jijik dan teringat selalu koreng yang menganga itu. Sampai tiga hari dia tak bisa makan.

Pada satu tempat yang lain, ada seorang peminta-minta yang bisa menghidupi dua orang isteri sekaligus dengan rumah permanennya. 'Cacatnya dia adalah 'blessing' bagi dia, sampai dia bisa menghidupi dua orang isterinya.

Banyak cerita lain tentang mereka, pengemis, peminta-minta, fakir, anak-anak terlantar yang banyak sekali tidak bisa terekspose media manapun.

Siapa yang harus mengentaskan mereka? Mereka sendiri? Masyarakat atau negara?

Amanat Amandemen Keempat UUD 1945 jelas-jelas mewajibkan negara untuk memelihara mereka semua. Pasal 34 ayat satu dan dua menyebutkan

Pasal 34 ayat 1 Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara
Pasal 34 ayat 2 Negara mengembangkan sistem jaringan sosial bagi seluruh rakyat dan memperdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan

Yang menjadi pertanyaan adalah dimana fungsi negara yang sebenarnya dalam memelihara fakir, miskin dan anak-anak terlantar? Tidak ada langkah konkrit negara dalam pandangan saya dalam hal ini. Praktis tidak ada sistem jaringan sosial bagi seluruh rakyat. Rakyat dibiarkan menjalani kehidupan mereka dengan cara mereka sendiri. Kalaupun bisa kehinaan mereka dijual, mereka akan menjual kehinaan itu. Mereka tawarkan kehinaan dengan cara mereka. Kalau toh itu mau disebut hina. Kehinaan yang ada di sekitar kita. Dan, hanya itu yang bisa mereka lakukan...........








Agenda Ekonomi Syariah dan AM IMF-WB 2018

Dimuat di Kanigoro.com 29 Agustus 2018 Annual Meeting International Monetary Fund-World Bank (AM IMF-WB) akan digelar di Nusa Dua Bali t...